9.4.11

Penentu Alergi pada Anak

Penentu ALERGI pada Anak dengan Uji Cukit Kulit 
(Skin Prick Test)

      Adanya tidaknya alergi pada anak dapat diketahui dengan suatu pemeriksaan yang disebut tes alergi. Ada beberapa macam cara, salah satunya adalah dengan uji cukit kulit. Uji cukit kulit  merupakan salah satu bentuk uji in vivo untuk melihat sensitivitas yang diperantarai oleh IgE, yaitu dengan cara perkutan (prick, puncture, scratch) ataupun cara intradermal (Nelson, 2003).
      Prinsip pemeriksaan uji cukit kulit ini ialah adanya reaksi wheal dan flare pada kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap alergen yang diuji (reaksi hipersensitivitas tipe I). IgG juga dapat menunjukkan reaksi seperti ini, akan tetapi masa sensitisasinya lebih pendek hanya beberapa hari, sedangkan IgE mempunyai masa sensitisasi lebih lama yaitu sampai beberapa minggu. Reaksi maksimal uji cukit kulit terjadi setelah 15-20 menit dan dapat diikuti reaksi lambat setelah 4-8 jam (Munasir, 2008).
     Uji cukit kulit dilakukan dengan cara menusukkan ujung alat ke dalam epidermis pada sudut sekitar 45-derajat melalui setetes ekstrak alergen, kemudian ujung tersebut diangkat sehingga membentuk sedikit kerusakan kecil pada epidermis. Uji cukit kulit bisa dilakukan dengan menggunakan jarum padat maupun jarum yang berlubang.
     Immediate reaction dimulai oleh degranulasi sel mast karena paparan alergen. Pelepasan histamin dan tryptase mulai terjadi 5 menit setelah injeksi alergen dan mengalami puncaknya dalam 30 menit. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksi ini, tetapi bukan merupakan satu-satunya mediator. Ukuran wheal umumnya tidak berkorelasi dengan kadar pelepasan histamin, melainkan merupakan hasil interaksi dari beberapa faktor, termasuk komponen-komponen inflamasi dan neurogenik, seperti neurokinin-A. Reaksi fase lambat setelah paparan terhadap alergen disebabkan oleh antibodi IgE. Reaksi tipe III (delayed-type hypersensitivity) tidak memberikan kontribusi yang bermakna. Reaksi ini ditandai dengan adanya inflamasi yang melibatkan limfosit T helper, terutama CD4+, dan eosinofil yang melepaskan protein sitotoksik (Demoly et al., 2003).
     Kontraindikasi mutlak uji cukit kulit ialah kondisi dermatologi difus, dermatografisme berat, kerja sama yang rendah, dan penderita tidak bisa menghentikan penggunaan obat yang bisa mengganggu pemeriksaan. Kontraindikasi relatif ialah asma persisten atau tidak stabil, kehamilan, bayi, dan penderita yang mengonsumsi obat-obatan penghambat beta (ASCIA, 2005).
     Tempat uji cukit kulit yang paling baik ialah di daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 3 cm dari lipat siku dan 5 cm dari pergelangan tangan. Kadang dilakukan pada punggung atau lengan atas bagian luar. Setelah dibersihkan dengan air atau alkohol, kulit ditandai dengan angka yang sesuai dengan urutan angka alergen yang akan diuji. Setetes ekstrak alergen diletakkan pada permukaan kulit tepat di samping angka, dengan jarak antara tetesan sejauh 2 cm untuk menghindari hasil positif palsu atau reaksi kulit yang saling tumpang tindih (Demoly et al., 2003). Dalam meneteskan ekstrak alergen ini, harus diperhatikan supaya ujung botol tidak menyentuh permukaan kulit (ASCIA, 2005).
      Prinsip tusukan ialah melalui alergen masuk ke dalam epidermis dan dermis superfisial, tanpa menembus terlalu dalam sampai mengeluarkan darah. Satu jarum sebaiknya sekali pakai digunakan untuk satu tusukan saja sehingga dapat menghindari kemungkinan kontaminasi silang dan kecelakaan tusukan jarum saat menghapus ujung jarum di antara tusukan (ASCIA, 2005). Tetesan alergen kemudian dihapus dengan menggunakan kertas tisu kering setiap saat setelah dilakukan tusukan, dengan menghindari penggosokan yang dapat menyebabkan penyebaran alergen ke tempat tusukan di sebelahnya (Demoly et al., 2003).
     Untuk kontrol positif, digunakan larutan  histamin fosfat 1% (10 mg/ml) yang secara langsung menyebabkan timbulnya wheal dan flare, ataupun larutan kodein 9% yang menyebabkan degranulasi sel mast di jaringan kutan, sehingga secara tidak langsung menyebabkan timbulnya wheal dan flare. Guna kontrol positif ini ialah untuk mendeteksi supresi karena pengobatan atau penyakit dan mendeteksi penderita yang mempunyai respons rendah terhadap histamin, di mana pada penderita tersebut tidak mungkin dilakukan uji cukit kulit (ASCIA, 2005). Diameter wheal yang ditimbulkan dengan histamin pada konsentrasi 10 mg/ml ialah 5-8 mm (Demoly et al., 2003). Diameter wheal yang dianjurkan untuk kontrol positif ialah ≥4 mm atau 4 mm lebih besar dari pada kontrol negatif. Bila <4 mm, maka hasil uji cukit kulit ini tidak dapat diinterpretasikan (ASCIA, 2005). Kontrol negatif dilakukan dengan menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme akibat trauma jarum. Untuk kontrol negatif ini digunakan larutan gliserol 50% dalam salin, tanpa mengandung alergen (Munasir, 2008).
      Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya anafilaksis (reaksi alergi yang hebat) akan sangat rendah. Uji cukit kulit mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan uji intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah (Munasir, 2008).

Keterangan tambahan:
Alergen: 
      zat yang menyebabkan reaksi alergi yang masuk lewat saluran pernafasan.
Sensitisasi alergen: 
     diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik allergen spesifik tertentu pada serum siswa rinitis.
Pemeriksaan uji cukit kulit:
     dilakukan dengan  panel yang terstandarisasi yang berisi beberapa macam alergen. Histamin 0,1% dalam buffer salin-fosfat dan salin fisiologis digunakan sebagai kontrol positif dan negatif. Uji cukit kulit akan dilakukan di regio volar lengan bawah subyek. Hasil tes dibaca dalam 15 menit dan rata-rata diameter  dihitung. Dengan adanya kontrol positif berupa diameter 3mm, rata-rata diameter indurasi 3mm lebih besar dibanding kontrol negatif dibaca sebagai hasil positif. Eritema disekitarnya diabaikan.
Referensiku:
  • Aberg N, Asthma and allergic rhinitis in Swedish conscripts. Clin Exp Allergy 1989; 19:59-63.
  • ASCIA, 2005, Skin Prick Testing for the Diagnosis of Allergic Disease, 5-24.
  • Demoly, P., Piette, V., Bousquet, J., 2003, In vivo methods for study of allergy: skin tests, techniques, and interpretation, In: Adkinson, N.F., Yunginger, J.W., Busse, W.W., Bochner, B.S., Holgate, S.T., Simon, F.E.R., Middleton’s Allergy Principles and Practice, vol. II, 6th Ed., Mosby, Philadelphia, 631.
  • Munasir, Z., Martani W.R., 2008, Rinitis Alergik, In: Akib, A.A.P., Munasir, Z., Kurniati, N., Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 445-446.
  • Nelson, H.S., 2003, In vivo testing for Immunoglobulin E-mediated sensitivity, In: Leung, D.Y.M., Sampson, H.A., Geha, R.S., Szefler, S.J., 1st Ed., Pediatric Allergy-Principles and Practice, Mosby, Missouri, 243-250.

8.4.11

Waaahhh.. Besok mo bebas status pasiennya Prof. yang post therapy Gancyclovir..

Thanks to Jesus Christ, ada referatnya mba Uuk waktu di Klaten kemaren tentang infeksi CMV..  ^_^

Belajar dulu aaahhhh.. Nyimak yuuukkk..

        INFEKSI SITOMEGALOVIRUS (CMV INFECTION)
        (made by dr. Siti Aurelia)

PENDAHULUAN
    CMV merupakan penyebab infeksi kongenital dan perinatal yang paling umum di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi luas diantara populasi yang berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,2 –3% , ada pula sebesar 0,7% sampai 4.1%. Peneliti lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh kehamilan.1 CMV merupakan penyebab umum infeksi kongenital dan merupakan penyebab ketulian pada anak. Sebagian besar anak (85%) dengan infeksi CMV kongenital dapat tumbuh dengan normal, namun 10-15 % mengalami tuli sensoris dalam perkembangannya. Mayoritas anak dengan tuli sensoris yang berhubungan dengan infeksi CMV mengalami kehilangan pendengaran secara progresif saat masa kanak-kanak.2

VIRUS CMV
    Human Cytomegalovirus (selanjutnya disebut CMV saja) merupakan human herpesvirus 5, anggota family dari 8 virus herpes manusia, subgrup beta-herpesvirus.
Cytomegalo berarti sel yang besar. Cytomegalovirus merupakan parasit yang hidup di dalam sel atau intrasel yang sepenuhnya tergantung pada sel inang untuk perbanyakan diri (replikasi). CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di permukaan sel inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di sitoplasma, lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel inang.3
Gambaran khas dari sel yang terinfeksi CMV adalah sel akan membesar, dengan adanya cytomegalic inclusions cell, yaitu sel yang berisi intranuclear inclusion yang membuat gambaran histopatologi owl’s eye.
CMV terdiri dari bagian envelope ( mengandung lipid ), tegument, capsid dan memiliki genom DNA(deoxyribonucleic acid)  untai ganda berukuran besar yang mampu mengkode lebih dari 227 macam protein dengan 35 macam protein struktural dan protein nonstruktural yang belum jelas fungsinya.
CMV dapat hidup di dalam bermacam sel seperti sel epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag yang berasal dari monosit, sel dendritik, limfosit. Virus dapat ditemukan dalam saliva , air mata, darah, urin, semen, sekret vagina, air susu ibu, cairan amnion dan cairan tubuh yang lain.

INFEKSI CMV KONGENITAL

TRANSMISI (Cara penularan):


1. Transmisi intrauterus


Terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5 – 1% dari kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren.Viremia pada ibu hamil dapat menyebar melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin akan menimbulkan risiko tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang serius. Risiko pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi. Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena sel terinfeksi membawa virus dengan muatan tinggi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih berat.5,6
Berdasarkan penelitian, frekuensi bayi yang mengalami penurunan fungsi pendengaran dari ibu yang terifeksi primer dengan ibu yang mengalami infeksi rekuren adalah sama (10%), namun bayi dengan ibu yang terinfeksi primer akan mengalami kehilangan pendengaran yang lebih berat dan progresif  dibandingkan bayi dari ibu dengan infeksi rekuren.

2. Transmisi perinatal

Terjadi karena sekresi melalui saluran genital atau air susu ibu. Kira-kira 2% – 28% wanita hamil dengan CMV seropositif, melepaskanCMV ke sekret serviks uteri dan vagina saat melahirkan, sehingga menyebabkan kurang lebih 10% kejadian infeksi perinatal.7.8
Transmisi melalui air susu ibu dapat terjadi, karena 9% - 88% wanita seropositif yang mengalami reaktivasi biasanya melepaskan CMV ke ASI. Ditemukannya CMV pada air susu lebih sering ditemukan daripada sekret yang lain. Isolasi CMV dari kolostrum lebih rendah dibandingkan isolasi dari air susu saat sebulan pasca melahirkan. ASI dari ibu CMV dapat diberikan pada bayi, terutama prematur setelah dipasteurisasi dan dibekukan pada suhu – 20C selama 3 hari. Dengan proses tersebut terbukti tidak menimbulkan infeksi dan tidak mempengaruhi kandungan nutrisi serta kualitas imun dari ASI.5,11

3. Transmisi postnatal

  • Saliva – merupakan jalur utama transmisi virus pascanatal terutama diantara anak-anak.
  • Transmisi seksual - CMV ditemukan pada serviks dan cairan semen
  • Transfusi darah – Transmisi melalui donor darah jarang terjadi, hanya berkisar 3-5% jika  darah diambil dari donor seropositif untuk resipien seronegatif. Kemungkinan terjadi karena  CMV dalam fase laten di sel darah putih dan CMV teraktivasi saat transfusi darah.4,5
  • Transplantasi organ – Pasien yang menjalani transplantasi ginjal beresiko tinggi untuk terinfeksi. Resipien seronegatif mempunyai 5% kesempatan untuk terinfeksi primer dari donor seronegatif  jika dibandingkan dengan 70-80% kemungkinan terkena infeksi dari donor seropositif. Hal ini dimungkinkan CMV ditransmisikan melalui sel-sel ginjal donor.2,3
RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI CMV

1.    Imunitas Humoral
Imunitas humoral berperan penting pada saat fase viremia infeksi atau reinfeksi. Banyak antibodi yang secara langsung melawan glikoprotein virus yang berperan serta dalam menghentikan infeksi terhadap sel. IgM CMV spesifik terbentuk saat infeksi primer dan bertahan selama 3-4 bulan. Antibodi IgG CMV terbentuk saat infeksi primer dan bertahan seumur hidup.9

2.    Imunitas Seluler
Respon sel T terhadap CMV berdasar pada fungsi memorinya termasuk kemampuan mereka sebagai mediator, efektor, proliferator, sekresi sitokin. Kombinasi respon CD 4 dan CD 8 sangat  berpengaruh terhadap kontrol infeksi CMV.9

MANIFESTASI KLINIS
1. Infeksi Kongenital 1,2,3,4
  • Kelainan sistem saraf pusat : mikrosefali, retardasi mental, spastisitas, epilepsy, kalsifikasi periventrikuler, ventrikulomegali
  • Mata : chorioretinitis, atrofi optik, skar retina, kehilangan penglihatan sentral.3 
  • Telinga : tuli sensorineural
  • Hepar : Hepatosplenomegali, ikterik (berhubungan dengan hepatitis).
  • Paru   : Pneumonitis
  • Jantung : Miokarditis
  • Purpura trombositopenia : blueberry muffin baby
  • Anemia hemolitik
  • Gigi : diskolorisasi gigi dan kerusakan enamel gigi.Berat lahir rendah, kecil masa kehamilan.
2.    Infeksi Perinatal

Biasanya tidak menimbulkan gejala, pernah ditemukan kasus dengan pneumonitis namun ini merupakan kasus yang jarang.4

3.    Infeksi pascanatal
  • Infeksi primer pada periode pascanatal biasanya ringan atau tanpa gejala. Secara umum infeksi pascanatal diikuti oleh infeksi mononucleosis dengan atipikal limfositosis, kadang-kadang yang muncul adalah gejala hepatitis.1,2,3
  • Pasien immunocompromise, biasanya simtomatik dengan gejala sepsis, pneumonitis, retinitis, perdarahan gastrointestinal, infeksi opportunistik.
  • Pasien cangkok ginjal, bisa terjadi glomerulonefritis interstitial.
  • Pasien AIDS, bisa terjadi ensefalopati, adrenitis CMV, Kapossi sarcoma.
PEMERIKSAAN LABORATORIS
Isolasi Virus
:
Spesimen yang digunakan bisa berupa urin, saliva, darah, serta biopsi jaringan, kemudian spesimen tersebut dapat diperiksa menggunakan metode:7
a.    Kultur sel, spesimen diinokulasikan pada sel dan disimpan selama 28 hari. CMV membentuk efek fokal yang tipikal pada sel.
b.    DEAFF (detection of early antigen fluorescent foci), merupakan metode yang digunakan untuk diagnosis awal CMV. Pada pasien immunocompromise sensitifitasnya 78% dengan spesifisitas 100%.
c.    Histopatologi, benda inklusi cytomegalic dapat dikenali dengan gambaran “owl’s eye”.
d.    Immunofluorescent jaringan, yang biasa digunakan adalah jaringan paru dan hepar, serta hasil lavage bronchus.
e.    Mikroskop electron, virion dari urin dapat dikenali dengan metode ini sebesar 80%.
f.    ELISA untuk pemeriksaan antigen di urin, namun uji ini mempunyai sensitifitas yang rendah dengan temukannya kompleks b2 mikroglobulin urin.
g.    PCR, uji ini ditengarai dapat dikerjakan dengan cepat dan sensitive.
h.    Uji antigenemia CMV, uji ini berdasarkan deteksi pp65, suatu protein structural yang diekspresikan pada permukaan leukosit pmn yang terinfeksi. Jumlah lekosit pmn yang terinfeksi telah diteliti mempunyai hubungan yang kuat dengan keseriusan penyakit. Infeksi CMV aktif yan dideteksi dengan antigenemia mempunyai sensitifitas dan spesifitas 29% yang meningkat menjadi 100 % pada pasien simptomatik.
Serologi
•    Ig M antiCMV
Dapat dideteksi pada infeksi primer dan bertahan selama 3-4 bulan. Antibodi ini tidak terdeteksi pada infeksi rekuren kecuali pada sepertiga pasien yang immunocompromise.2,7
•    IgG antiCMV
Dibuat pada fase awal infeksi primer dan bertahan seumur hidup. Deteksi IgG CMV berguna sebagai penyaring status imun seseorang (individu dengan seropositif tidak terlindungi dari reaktivasi dari infeksi ulangan). Kenaikan titer IgG dapat digunakan sebagai penanda infeksi akut. Kondisi ini berguna untuk mendiagnosis infeksi berulang pada individu normal, dan individu immunocompromise yang mungkin tidak membentuk IgM saat infeksi primer.4,5

TERAPI:
Modalitas yang digunakan pada terapi infeksi CMV adalah agen antivirus dan human immunoglobulin (HIG). Antivirus yang sering digunakan pada neonatus dan anak adalah Gancyclovir. 2,8,9

•    Gancyclovir
Bekerja aktif jika telah berubah menjadi gancyclovir trifosfat   yang akan dikenali  sebagai guanosin trifosfat oleh DNA polymerase virus yang akan menghambat replikasi CMV. Gancyclovir hanya aktif pada sel yang terinfeksi.  Kelemahan  terapi  gancyclovir  adalah pemberian secara intravena, supresi sumsum tulang dengan efek samping neutropenia, trombositopenia, anemia yang dapat membaik  jika terapi dihentikan atau dosis disesuaikan. Evaluasi darah dilakukan tiap minggu. Pada pasien dewasa dapat diberikan gancyclovir oral (valgancyclovir) namun preparat ini belum terbukti  bisa digunakan pada anak dan neonates. Terapi gancyclovir  yang dimulai pada neonates dengan gejala CNS mencegah penurunan pendengaran saat usia 6 bulan sampai 1 tahun. Beberapa penelitian menggunakan dosis dan lama terapi gancyclovir yang berbeda, namun dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan pemberian terapi gancyclovir yang lebih lama menunjukkan luaran yang lebih baik.

•    Human Immunoglobulin (HIG)
HIG menurunkan efek pathogen CMV dengan cara menetralkan antibodi dan berefek immunomodulator dengan meningkatkan konsentrasi IgG, menurunkan jumlah sel NK, dan menurunkan aktifitas sitotoksik.

Infeksi CMV kongenital:
  • Untuk bayi dengan keterlibatan SSP : Gancyclovir 6mg/kgbb/hari selama 6 minggu.3
Pasien immunocompromise:
  • Gancyclovir 10mg/kgbb/hari intravena selama 2-3 minggu dilanjutkan rumatan dengan dosis  5mg/kgbb/hari 5 sampai 7 kali perminggu.
  • Foscarnet 90-180mg/kgbb/hari (dewasa)
  • Hiperimmun globulin, berisi antibodi anti CMV digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien immunocompromise.

PROGNOSIS:
•    Kongenital CMV
Angka kematian bayi dengan infeksi kongenital simtomatik sebesar 10-20%, bayi tersebut jika selamat beresiko untuk mengalami gangguan pendengaran dari ringan sampai berat, IQ < 70, paresis atau paralisis, kejang dan chorioretinitis. Faktor yang berpengaruh terhadap prognosis buruk adalah keterlibatan sistem saraf pusat dengan adanya kalsifikasi, protein cerebrospinal >120mg/dl, placentomegali yang didapatkan saat kehamilan. Adanya hepatomegali, trombositopenia, ikterik, peningkatan transaminase hepar dan bilirubin bukan merupakan faktor predictor jangka panjang.11
•    Pasien immunocompeten dan immunocompromise
Prognosis pada pasien immunocompeten biasanya baik dan tidak membutuhkan terapi tertentu, sedangkan pada pasien immunocompromise luaran tergantung pada berat dan lamanya penekanan terhadap status imun pasien.10

PEMANTAUAN BAYI  DENGAN KONGENITAL CMV (EVALUASI    REKOMENDASI USIA)
  • Audiometri: BERA atau otoacoustic emission sampai minimal 12 bulan. Neonatus, 3,6,9,12,18,24,30,36 bulan, selanjutnya tiap tahun sampai usia sekolah
  • Ophtalmoskop: fungsi visual    Neonatus, 12 bulan, 3 tahun, dan pra sekolah.
  • Evaluasi neurologis/ perkembangan:    Pemantauan sampai usia sekolah
  • Neuropsikologis:   Sesuai penemuan klinis
Pediatrics in Review Vol.23 No.5 May 2002

PENCEGAHAN:
Wanita hamil dan Infeksi CMV Kongenital

Sumber penularan utama infeksi CMV pada wanita adalah melalui hubungan seksual dan anak-anak. Semua anak-anak pra sekolah harus dipertimbangkan sebagai sumber infeksi potensial.3

Langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh wanita yang sedang hamil adalah : 
  • Kesadaran bahwa  anak-anak dibawah usia 3 tahun kemungkinan  mempunyai CMV pada urin dan saliva mereka.
  • Membasuh tangan dengan air hangat dan sabun setelah mengganti popok atau pakaian kotor anak, memandikan atau menyuapi anak, menyeka muntahan atau kotoran hidung, memegang mainan anak, sikat gigi.
  • Tidak  berbagi gelas, piring, sikat gigi, handuk. 
  • Mencium anak pada daerah sekitar mulut.
  • Tidak berganti-ganti pasangan.
  • Vaksinasi ( masih dalam penelitian).
Infeksi Nosokomial dan Oportunistik:
•    Secretion precaution dan kebiasaan mencuci tangan.
•    Kehati-hatian dalam donor darah (transfuse komponen darah).
•    Pencegahan dengan antiviral serta imunisasi pasif pada pasien transplantasi organ tubuh.

RINGKASAN:
Infeksi CMV merupakan infeksi yang dapat menyerang semua usia, baik dengan status  imun imunocompeten maupun imunocompromise. Virus CMV dapat menginfeksi berbagai  macam sel sehingga menimbulkan manifestasi klinis dari asimtomatik hingga simtomatik berat. Infeksi yang terjadi bisa berupa infeksi kongenital dan non kongenital, termasuk pada transplantasi organ  Diagnosis pasti masih sulit dilakukan karena memerlukan biaya yang mahal. Terapi yang dipercaya sampai saat ini adalah penggunaan antiviral yaitu gancyclovir yang dapat menekan infeksi, walaupun dosis serta lama pemberian masih terdapat banyak versi. Namun hal yang tidak kalah penting dilakukan adalah pencegahan penjalaran penyakit dan pemantauan setelah terkena infeksi.

DAFTAR PUSTAKA:
  1. Gomella TL. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases and drugs. United States of America: Mc Graw Hill Companies. 2009. 
  2. Adler SP, Marshal B. Cytomegalovirus Infections. Pediatrics in Review 2007;28: 92-99.
  3. Taylor GH. Cytomegalovirus. American Family Physician 2003; 67: 522-524.
  4. Pass RP. Cytomegalovirus Infections. Pediatrics in Review 2002; 23: 163-9.
  5. Adler SP. Recent Advances in the Prevention and Treatment of Cytomegalovirus Infections. Seminars in Perinatology 2007; 31:10-18.
  6. Numazaki K.Human Cytomegalovirus infections in premature infants by breastfeeding. African Journal of Biotechnology 2005; 4: 867-872.
  7. Revello et all. Pathogenesis and Prenatal Diagnosis of Human Cytomegalovirus Infection. Journal of Clinical Virology 2004; 29:71-83.
  8. Avilla-Agiiero,et all.Ganciclovir therapy in cytomegalovirus (CMV) infection in immunocompetent  pediatric  patients. Int.J Infect Dis 2003;7: 278-281.
  9. Nasetta L et all. Treatment of congenital cytomegalovirus infection: implications for future therapeutic strategies. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2009; 63: 862–867
  10. Strate VB, Harmsen MC, Scaffer Viral Load in Breast Milk Correlates with Transmission of Human Cytomegalovirus to Preterm Neonates, but Lactoferrin Concentrations Do Not .Clinical  and  Diagnostic Laboratory Immunology 2001; p. 818–821. 
  11. Pass RF, et all. Congenital cytomegalovirus infection following first trimester maternal infection: Symptoms at birth and outcome. Journal of Clinical Virology 2006; 35: 216–220