9.4.11

Penentu Alergi pada Anak

Penentu ALERGI pada Anak dengan Uji Cukit Kulit 
(Skin Prick Test)

      Adanya tidaknya alergi pada anak dapat diketahui dengan suatu pemeriksaan yang disebut tes alergi. Ada beberapa macam cara, salah satunya adalah dengan uji cukit kulit. Uji cukit kulit  merupakan salah satu bentuk uji in vivo untuk melihat sensitivitas yang diperantarai oleh IgE, yaitu dengan cara perkutan (prick, puncture, scratch) ataupun cara intradermal (Nelson, 2003).
      Prinsip pemeriksaan uji cukit kulit ini ialah adanya reaksi wheal dan flare pada kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap alergen yang diuji (reaksi hipersensitivitas tipe I). IgG juga dapat menunjukkan reaksi seperti ini, akan tetapi masa sensitisasinya lebih pendek hanya beberapa hari, sedangkan IgE mempunyai masa sensitisasi lebih lama yaitu sampai beberapa minggu. Reaksi maksimal uji cukit kulit terjadi setelah 15-20 menit dan dapat diikuti reaksi lambat setelah 4-8 jam (Munasir, 2008).
     Uji cukit kulit dilakukan dengan cara menusukkan ujung alat ke dalam epidermis pada sudut sekitar 45-derajat melalui setetes ekstrak alergen, kemudian ujung tersebut diangkat sehingga membentuk sedikit kerusakan kecil pada epidermis. Uji cukit kulit bisa dilakukan dengan menggunakan jarum padat maupun jarum yang berlubang.
     Immediate reaction dimulai oleh degranulasi sel mast karena paparan alergen. Pelepasan histamin dan tryptase mulai terjadi 5 menit setelah injeksi alergen dan mengalami puncaknya dalam 30 menit. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksi ini, tetapi bukan merupakan satu-satunya mediator. Ukuran wheal umumnya tidak berkorelasi dengan kadar pelepasan histamin, melainkan merupakan hasil interaksi dari beberapa faktor, termasuk komponen-komponen inflamasi dan neurogenik, seperti neurokinin-A. Reaksi fase lambat setelah paparan terhadap alergen disebabkan oleh antibodi IgE. Reaksi tipe III (delayed-type hypersensitivity) tidak memberikan kontribusi yang bermakna. Reaksi ini ditandai dengan adanya inflamasi yang melibatkan limfosit T helper, terutama CD4+, dan eosinofil yang melepaskan protein sitotoksik (Demoly et al., 2003).
     Kontraindikasi mutlak uji cukit kulit ialah kondisi dermatologi difus, dermatografisme berat, kerja sama yang rendah, dan penderita tidak bisa menghentikan penggunaan obat yang bisa mengganggu pemeriksaan. Kontraindikasi relatif ialah asma persisten atau tidak stabil, kehamilan, bayi, dan penderita yang mengonsumsi obat-obatan penghambat beta (ASCIA, 2005).
     Tempat uji cukit kulit yang paling baik ialah di daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 3 cm dari lipat siku dan 5 cm dari pergelangan tangan. Kadang dilakukan pada punggung atau lengan atas bagian luar. Setelah dibersihkan dengan air atau alkohol, kulit ditandai dengan angka yang sesuai dengan urutan angka alergen yang akan diuji. Setetes ekstrak alergen diletakkan pada permukaan kulit tepat di samping angka, dengan jarak antara tetesan sejauh 2 cm untuk menghindari hasil positif palsu atau reaksi kulit yang saling tumpang tindih (Demoly et al., 2003). Dalam meneteskan ekstrak alergen ini, harus diperhatikan supaya ujung botol tidak menyentuh permukaan kulit (ASCIA, 2005).
      Prinsip tusukan ialah melalui alergen masuk ke dalam epidermis dan dermis superfisial, tanpa menembus terlalu dalam sampai mengeluarkan darah. Satu jarum sebaiknya sekali pakai digunakan untuk satu tusukan saja sehingga dapat menghindari kemungkinan kontaminasi silang dan kecelakaan tusukan jarum saat menghapus ujung jarum di antara tusukan (ASCIA, 2005). Tetesan alergen kemudian dihapus dengan menggunakan kertas tisu kering setiap saat setelah dilakukan tusukan, dengan menghindari penggosokan yang dapat menyebabkan penyebaran alergen ke tempat tusukan di sebelahnya (Demoly et al., 2003).
     Untuk kontrol positif, digunakan larutan  histamin fosfat 1% (10 mg/ml) yang secara langsung menyebabkan timbulnya wheal dan flare, ataupun larutan kodein 9% yang menyebabkan degranulasi sel mast di jaringan kutan, sehingga secara tidak langsung menyebabkan timbulnya wheal dan flare. Guna kontrol positif ini ialah untuk mendeteksi supresi karena pengobatan atau penyakit dan mendeteksi penderita yang mempunyai respons rendah terhadap histamin, di mana pada penderita tersebut tidak mungkin dilakukan uji cukit kulit (ASCIA, 2005). Diameter wheal yang ditimbulkan dengan histamin pada konsentrasi 10 mg/ml ialah 5-8 mm (Demoly et al., 2003). Diameter wheal yang dianjurkan untuk kontrol positif ialah ≥4 mm atau 4 mm lebih besar dari pada kontrol negatif. Bila <4 mm, maka hasil uji cukit kulit ini tidak dapat diinterpretasikan (ASCIA, 2005). Kontrol negatif dilakukan dengan menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme akibat trauma jarum. Untuk kontrol negatif ini digunakan larutan gliserol 50% dalam salin, tanpa mengandung alergen (Munasir, 2008).
      Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya anafilaksis (reaksi alergi yang hebat) akan sangat rendah. Uji cukit kulit mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan uji intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah (Munasir, 2008).

Keterangan tambahan:
Alergen: 
      zat yang menyebabkan reaksi alergi yang masuk lewat saluran pernafasan.
Sensitisasi alergen: 
     diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik allergen spesifik tertentu pada serum siswa rinitis.
Pemeriksaan uji cukit kulit:
     dilakukan dengan  panel yang terstandarisasi yang berisi beberapa macam alergen. Histamin 0,1% dalam buffer salin-fosfat dan salin fisiologis digunakan sebagai kontrol positif dan negatif. Uji cukit kulit akan dilakukan di regio volar lengan bawah subyek. Hasil tes dibaca dalam 15 menit dan rata-rata diameter  dihitung. Dengan adanya kontrol positif berupa diameter 3mm, rata-rata diameter indurasi 3mm lebih besar dibanding kontrol negatif dibaca sebagai hasil positif. Eritema disekitarnya diabaikan.
Referensiku:
  • Aberg N, Asthma and allergic rhinitis in Swedish conscripts. Clin Exp Allergy 1989; 19:59-63.
  • ASCIA, 2005, Skin Prick Testing for the Diagnosis of Allergic Disease, 5-24.
  • Demoly, P., Piette, V., Bousquet, J., 2003, In vivo methods for study of allergy: skin tests, techniques, and interpretation, In: Adkinson, N.F., Yunginger, J.W., Busse, W.W., Bochner, B.S., Holgate, S.T., Simon, F.E.R., Middleton’s Allergy Principles and Practice, vol. II, 6th Ed., Mosby, Philadelphia, 631.
  • Munasir, Z., Martani W.R., 2008, Rinitis Alergik, In: Akib, A.A.P., Munasir, Z., Kurniati, N., Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 445-446.
  • Nelson, H.S., 2003, In vivo testing for Immunoglobulin E-mediated sensitivity, In: Leung, D.Y.M., Sampson, H.A., Geha, R.S., Szefler, S.J., 1st Ed., Pediatric Allergy-Principles and Practice, Mosby, Missouri, 243-250.

6 komentar:

ceritatugu mengatakan...

wah nambah pengetahuan inyong tentang kesehatan, makasih dah mampir

dedi mengatakan...

kalo bisa tau, di mana bisa tes alergi anak untuk kawasan bsd city, serpong

thx

Hendriawanz mengatakan...

Dengan referensi-referensi seperti itu, jadi mantap membacanya.

thrissy guntoro mengatakan...

@ dedi: pastinya tes alergi anak itu bisa dilakukan oleh dr. spesialis kulit kelamin atau dr. spesialis anak yang sudah bersertifikasi. Kalau di Bds city serpong saya kurang tahu, mungkin bisa menghubungi rs terdekat. semoga bisa membantu pak dedi

thrissy guntoro mengatakan...

@cerita tugu: makasih pak ^_^

@Hendriawanz: Khehehehe.. thankyou so much for the critical appraisalnya ya mas ^_^ ntar diskusi lagi dengan otakku yang udah diisi yach, hehehehehe..

Unknown mengatakan...

Saya mau tanya, kmren saya bru saja melakukan test tusuk d dokter kulit. Tetapi alat yg digunakan itu bkn dg yg sekali pakai tp menggunakan semacam alat tusuk metal. ada sekitar 28 alat tusuk metal yg dimasukkan ke dlm kotak besi yg sudah mulai berkarat. sblm menusukkan ke lengan saya pun alat itu tdk di sterilkan dulu..yg mau saya tanyakan berbahayakah itu ? Dan apakah dibenarkan alat tes cukit menggunakan alat tusuk metal tidak sekali pakai ?